“Pulang memang adalah
jalan yang harus dilalui semua pejalan. Dari Titik Nol kita berangkat, kepada
Titik Nol kita kembali.”
(Agustinus Wibowo)
Kata-kata diatas ada bagiku benar. Sejauh apapun
kita melangkah pergi meninggalkan 'rumah' pasti suatu saat kita akan rindu
kenyamanan 'rumah' untuk tempat kita kembali pulang selamanya. Rumah disini
maksudnya bukan dalam arti yang sesungguhnya, tetapi rumah yang bermakna tempat
berlindung dan berbagi cerita yang nyaman yaitu sosok kekasih. Kekasih yang
bisa jadi kau anggap keluarga bagimu, tempat kau menyandarkan bahumu saat kau
merasa pilu, ya itu ‘rumah’ = kekasih hatimu
Pada dasarnya setiap orang adalah pejalan kaki. Kita
semua pejalan kaki. Mengelililingi detik demi detik, menit demi menit, jam demi
jam, hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, dan tahun demi
tahun. Dan terus berjalan, berjalan, dan berjalan. Entah sudah sejauh mana
kaki-kaki ini berjalan. Tidak ada yang tahu bukan?
Aku pun begitu, aku adalah si pejalan kaki. Pejalan
kaki yang berjalan mengelilingi hari untuk mencari-cari. Entah apa yang aku
cari, aku tidak tahu. Entah apa yang ingin aku temui, aku tidak mengerti. Yang pasti
aku hanya terus mencari dan mencari.
Suatu malam aku berpikir sejenak, mungkin aku ingin
menjadi pejalan kaki yang mencari kenyamanan lain selain ‘rumah-ku’. Seperti
kata pepatah yang berbunyi “rumput
tetangga terkadang lebih hijau”. Aku pun pernah merasakan hal seperti itu, bosan
pada suasanya sepi, sunyi, dan kosong, dan sederhana seperti ini pada ‘rumah-ku’.
Tidak seperti ‘rumah’ diluaran sana yang nampaknya begitu ‘wah’ dan rasanya menyenangkan
bila aku ada didalamnya, menempatinya, dan mengisi hari-hariku di dalamnya. Aku
mencoba mencari ‘rumah kedua (mewah)’ yang lebih ‘wah’ dan menjanjikan kenikmatan
segalanya untuk aku dapati didalamnya. Akhirnya aku menemukannya, di tepian
jalan raya yang begitu banyak disinggahi orang yang berlalu lalang. ‘rumah kedua
(mewah)’ ini cukup terkenal dan banyak disinggahi para pejalan kaki lainnya. Aku
mencoba memasukinya, perlahan-lahan tapi pasti, aku berharap bisa menempatinya dan
menggantikan ‘rumah-ku’ yang lama. Walau dalam dasar hatiku aku tak yakin
dengan diriku sendiri. Sebab siapa aku? Berani-beraninya memasuki ‘rumah kedua (mewah)’
ini dan berharap bisa menempatinya melupakan ‘rumah-ku’ yang lama. Sedang aku
tau faktanya siapa ‘rumah kedua (mewah)’ ini sesungguhnya. Memang ‘rumah kedua
(mewah)’ ini sedang tak berpenghuni, pantas saja siapa saja yang lalu lalang
dihadapannya akan merasa terpanggil dan mencoba memasukinya, mencoba merasakan
kemewahan yang ada di dalamnya. Butuh perjuangan untuk dapat memasuki ‘rumah
kedua (mewah)’ ini, namun tidak sulit bagiku. Sebab aku mengenal ‘rumah kedua
(mewah)’ ini. Dengan mudahnya aku sudah berada di dalamnya, mencari dan
merasakan kemewahan yang sudah kuincar dari sebelum aku memasukinnya.
Seiring berjalannya waktu, ketika aku sudah
merasakan kemewahan daripada ‘rumah kedua (mewah)’ itu, aku justru merasa ada
sosokku yang hilang. Sebagian hatiku merasa justru sepi, sebagian hatiku pergi,
entah kemana aku belum tahu. Aku mencoba mengingatnya dan aku merasa mungkin hatiku
tertinggal jauh dibelakang sana, ketika aku sedang dalam perjalan mencari ‘rumah
kedua (mewah)’ ini.
Dan dalam perjalananku ini aku tersadar bahwa ternyata
tempatku bukan di ‘rumah kedua (mewah)’ ini, hidupku bukan di ‘rumah kedua (mewah)’
ini. Diriku tak pantas berada disini. Kemewahan yang ada dalam ‘rumah kedua (mewah)’
ini memang begitu menjanjikan siapa saja yang menemukannya, tapi tidak bagiku. Kemewahan
ini nyatanya semu, hanya menyilaukan mataku sekejap saja. Membuatku lupa akan ‘rumah-ku’
yang sederhana namun nyatanya selalu ada dihati. Selalu setia menantiku untuk
segera kembali pulang.
Akhirnya sebelum nasi menjadi bubur, sebelum
semua terlambat, aku berjalan lagi, mencari jalan pulang menuju tempat aku
semula berasal. Tempat dimana ada ‘rumah-ku’ yang nyata. Yang walau sederhana
tetapi aku merasa nyaman di dalamnya. Yang walau sederhana tetapi aku merasa
rindu jika jauh darinya. Aku merasa terlindungi seutuhnya. Bahagiaku di ‘rumah-ku’
begitu sempurna, namun sayang dulu aku terlalu naif untuk mengakuinya, mungkin
aku malu dengan kesederhanaan rumahku ini. Mungkin juga aku iri dengan mereka
yang memiliki ‘rumah mewah’. Tapi untunglah aku tersadar bahwa aku harus segera
pulang. Kembali kepada ‘rumah-ku’ yang sesungguhnya. Rumahku yang tanpa
sandiwara, tanpa rekayasa. Tempat aku merasakan diriku seutuhnya, tanpa dipaksa
menjadi aku yang bukan diriku adanya. Tanpa perlu aku memakai topeng kemewahan
yang tak berharga.
Dari perjalananku itu aku tersadar, bahwa tidak
ada rumah kedua dalam hidup ini, dalam hati ini, dalam batin ini. Hanya ‘rumah-ku’
–lah tempatku seharusnya menghabiskan hari-hari, bersamanya – dengannya -
selamanya. Akan kususun sejuta rencana berdua dengannya. Menghabiskan malam
dingin dalam peluknya. Berteduh kala panas dalam atap teduhnya. Menikmati itu
semua dengan kesederhanaan yang nyata, tulus, ikhlas tanpa rekayasa. Jika ada
yang berkata ‘rumput tetangga terkadang
lebih hijau’ silakan kalian coba rasakan sendiri kehijauan seperti apa yang
kalian lihat dan dambakan dari rumput tetangga itu. Bandingkan dengan apa yang
kalian miliki. Dan tanya hati kalian, dimanakah yang sejatinya lebih hijau?
Aku tentu punya jawabnya, aku akan memilih tetap
tinggal di ‘rumah-ku’ walau sederhana, apa adanya. Sebab hati tak akan pernah
salah untuk menuntun jalan kita kembali pulang. Pulang ke tempat yang memang
seharusnya kita berada di dalamnya – selamanya - bersamanya :’)