Jumat, 21 Februari 2014

perjalanan ini menuntunku kembali pulang


Pulang memang adalah jalan yang harus dilalui semua pejalan. Dari Titik Nol kita berangkat, kepada Titik Nol kita kembali.”

(Agustinus Wibowo)



Kata-kata diatas ada bagiku benar. Sejauh apapun kita melangkah pergi meninggalkan 'rumah' pasti suatu saat kita akan rindu kenyamanan 'rumah' untuk tempat kita kembali pulang selamanya. Rumah disini maksudnya bukan dalam arti yang sesungguhnya, tetapi rumah yang bermakna tempat berlindung dan berbagi cerita yang nyaman yaitu sosok kekasih. Kekasih yang bisa jadi kau anggap keluarga bagimu, tempat kau menyandarkan bahumu saat kau merasa pilu, ya itu ‘rumah’ = kekasih hatimu

Pada dasarnya setiap orang adalah pejalan kaki. Kita semua pejalan kaki. Mengelililingi detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun. Dan terus berjalan, berjalan, dan berjalan. Entah sudah sejauh mana kaki-kaki ini berjalan. Tidak ada yang tahu bukan?

Aku pun begitu, aku adalah si pejalan kaki. Pejalan kaki yang berjalan mengelilingi hari untuk mencari-cari. Entah apa yang aku cari, aku tidak tahu. Entah apa yang ingin aku temui, aku tidak mengerti. Yang pasti aku hanya terus mencari dan mencari.

Suatu malam aku berpikir sejenak, mungkin aku ingin menjadi pejalan kaki yang mencari kenyamanan lain selain ‘rumah-ku’. Seperti kata pepatah yang berbunyi “rumput tetangga terkadang lebih hijau”. Aku pun pernah merasakan hal seperti itu, bosan pada suasanya sepi, sunyi, dan kosong, dan sederhana seperti ini pada ‘rumah-ku’. Tidak seperti ‘rumah’ diluaran sana yang nampaknya begitu ‘wah’ dan rasanya menyenangkan bila aku ada didalamnya, menempatinya, dan mengisi hari-hariku di dalamnya. Aku mencoba mencari ‘rumah kedua (mewah)’ yang lebih ‘wah’ dan menjanjikan kenikmatan segalanya untuk aku dapati didalamnya. Akhirnya aku menemukannya, di tepian jalan raya yang begitu banyak disinggahi orang yang berlalu lalang. ‘rumah kedua (mewah)’ ini cukup terkenal dan banyak disinggahi para pejalan kaki lainnya. Aku mencoba memasukinya, perlahan-lahan tapi pasti,  aku berharap bisa menempatinya dan menggantikan ‘rumah-ku’ yang lama. Walau dalam dasar hatiku aku tak yakin dengan diriku sendiri. Sebab siapa aku? Berani-beraninya memasuki ‘rumah kedua (mewah)’ ini dan berharap bisa menempatinya melupakan ‘rumah-ku’ yang lama. Sedang aku tau faktanya siapa ‘rumah kedua (mewah)’ ini sesungguhnya. Memang ‘rumah kedua (mewah)’ ini sedang tak berpenghuni, pantas saja siapa saja yang lalu lalang dihadapannya akan merasa terpanggil dan mencoba memasukinya, mencoba merasakan kemewahan yang ada di dalamnya. Butuh perjuangan untuk dapat memasuki ‘rumah kedua (mewah)’ ini, namun tidak sulit bagiku. Sebab aku mengenal ‘rumah kedua (mewah)’ ini. Dengan mudahnya aku sudah berada di dalamnya, mencari dan merasakan kemewahan yang sudah kuincar dari sebelum aku memasukinnya.

Seiring berjalannya waktu, ketika aku sudah merasakan kemewahan daripada ‘rumah kedua (mewah)’ itu, aku justru merasa ada sosokku yang hilang. Sebagian hatiku merasa justru sepi, sebagian hatiku pergi, entah kemana aku belum tahu. Aku mencoba mengingatnya dan aku merasa mungkin hatiku tertinggal jauh dibelakang sana, ketika aku sedang dalam perjalan mencari ‘rumah kedua (mewah)’ ini.

Dan dalam perjalananku ini aku tersadar bahwa ternyata tempatku bukan di ‘rumah kedua (mewah)’ ini, hidupku bukan di ‘rumah kedua (mewah)’ ini. Diriku tak pantas berada disini. Kemewahan yang ada dalam ‘rumah kedua (mewah)’ ini memang begitu menjanjikan siapa saja yang menemukannya, tapi tidak bagiku. Kemewahan ini nyatanya semu, hanya menyilaukan mataku sekejap saja. Membuatku lupa akan ‘rumah-ku’ yang sederhana namun nyatanya selalu ada dihati. Selalu setia menantiku untuk segera kembali pulang.

Akhirnya sebelum nasi menjadi bubur, sebelum semua terlambat, aku berjalan lagi, mencari jalan pulang menuju tempat aku semula berasal. Tempat dimana ada ‘rumah-ku’ yang nyata. Yang walau sederhana tetapi aku merasa nyaman di dalamnya. Yang walau sederhana tetapi aku merasa rindu jika jauh darinya. Aku merasa terlindungi seutuhnya. Bahagiaku di ‘rumah-ku’ begitu sempurna, namun sayang dulu aku terlalu naif untuk mengakuinya, mungkin aku malu dengan kesederhanaan rumahku ini. Mungkin juga aku iri dengan mereka yang memiliki ‘rumah mewah’. Tapi untunglah aku tersadar bahwa aku harus segera pulang. Kembali kepada ‘rumah-ku’ yang sesungguhnya. Rumahku yang tanpa sandiwara, tanpa rekayasa. Tempat aku merasakan diriku seutuhnya, tanpa dipaksa menjadi aku yang bukan diriku adanya. Tanpa perlu aku memakai topeng kemewahan yang tak berharga.

Dari perjalananku itu aku tersadar, bahwa tidak ada rumah kedua dalam hidup ini, dalam hati ini, dalam batin ini. Hanya ‘rumah-ku’ –lah tempatku seharusnya menghabiskan hari-hari, bersamanya – dengannya - selamanya. Akan kususun sejuta rencana berdua dengannya. Menghabiskan malam dingin dalam peluknya. Berteduh kala panas dalam atap teduhnya. Menikmati itu semua dengan kesederhanaan yang nyata, tulus, ikhlas tanpa rekayasa. Jika ada yang berkata ‘rumput tetangga terkadang lebih hijau’ silakan kalian coba rasakan sendiri kehijauan seperti apa yang kalian lihat dan dambakan dari rumput tetangga itu. Bandingkan dengan apa yang kalian miliki. Dan tanya hati kalian, dimanakah yang sejatinya lebih hijau?

Aku tentu punya jawabnya, aku akan memilih tetap tinggal di ‘rumah-ku’ walau sederhana, apa adanya. Sebab hati tak akan pernah salah untuk menuntun jalan kita kembali pulang. Pulang ke tempat yang memang seharusnya kita berada di dalamnya – selamanya - bersamanya :’)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar